Dari manakah kekuatan kata-kata yang orang ucapkan? Apakah dari ucapan itu sendiri yang tersusun baik menurut kaedah berbahasa yang baik dan benar? Ataukah dari isi kata-kata yang diucapkan tersebut? J.L. Austin, filsof bahasa, memandang bahwa prinsip-prinsip umum keampuhan kata-kata bisa ditemukan di dalam wacana atau ungkapan Bahasa itu sendiri. Dia mengajukan teori “performative speech” atau “performative utterance”, yakni bahwa mengucapkan sesuatu itu tidak hanya sekadar menggambarkan kenyataan (descriptive). Pada kondisi tertentu, mengucapkan juga berarti melalukan (performative). Kekuatan teori Austin terletak pada keinginan kuat untuk tidak hanya berkutat pada ujaran tetapi pada tindakan. Dia juga memandang bahwa kekuatan kata-kata adalah kekuatan yang didelegasikan kepada orang yang mengucapkan, dan hal itu tercermin pada ucapannya. Ucapan itu menjadi semacam garansi kekuatannya.

Namun demikian, teorinya memiliki kelemahan justru karena dia mencari kekuatan (power) ujaran atau ucapan itu pada batas-batas linguistik. Di sinilah, Pierre Bourdieu mengarahkan kritiknya atas pemikiran Austin tersebut. Menurut Boudieu, Austin lupa bahwa “autoritas datang kepada bahasa dari luar” (authority comes to language from outside). Dengan kata lain, otoritas bukan berasal dari bahasa, dengan berbagai perniknya, itu sendiri. Bagi Bourdieu, otoritas bahasa tergantung pada posisi social pengguna yang diberi otoritas. Ini bukan berarti Bourdieu memandang bahwa kemampuan Bahasa dan pernak-perniknya tidak penting untuk dipahami. Baginya, wacana yang diujarkan dengan berbagai perniknya, posisi orang yang mengucapkan, dan institusi yang memberinya otoritas merupakan sumber dari keampuhan atau efektivitas suatu Bahasa. Lebih tegas lagi, keampuhan Bahasa bekerja jika: 1) dilakukan oleh orang yang diberi hak untuk mengujarkan; 2) dilakukan dalam situasi yang diabsahkan; 3) diujarkan menurut bentuk-bentuk yang juga diakui sebagai absah (legitimate).

Itu otoritas Bahasa. Bagaimana dengan Bahasa otoritas (language of authority)? Atau dengan kata lain, bagaimana wacana tentang otoritas itu memiliki kekuatan? Menurut Bourdieu, Bahasa otoritas tidak pernah terjadi tanpa ada kolaborasi dengan orang-orang yang ia atur dan tanpa bantuan mekanisme sosial. Bahasa otoritas, kata Bourdieu, hanya melandaskan otoritasnya pada “kondisi-kondisi produksi dan reproduksi distribusi antara kelas pengetahuan dan pengakuan Bahasa yang absah”. Bourdieu menyimpulkan bahwa keampuhan simbolik dari kata-kata hanya terjadi sejauh orang yang (dipaksa?) tunduk terhadapnya mengakui orang (lain) yang menggunakannya sebagai orang yang berhak melakukannya.

Rangkuman chapter “Authorized Language: the social conditions for the effectiveness of ritual discourse,” dalam Pierre Bourdie, Language and Symbolic Power, pp. 107-116.